PEREKONOMIAN INDONESIA#
TUGAS SOFTSKILL
NAMA :
RENITA HELENA
NPM :
25215762
KELAS : 1EB14
DOSEN :
SULASTRI
PERDAGANGAN LUAR NEGERI
Perdagangan
internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara
dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang
dimaksud dapat berupa antarperorangan (individu dengan individu), antara
individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah
suatu negara dengan pemerintah negara lain. Di banyak negara,
perdagangan internasional menjadi salah satu faktor utama untuk meningkatkan GDP.
Adapun
teori – teori perdagangan internasional yaitu sebagai berikut:
1. Menurut
Amir M.S.
Bila dibandingkan dengan pelaksanaan perdagangan di dalam negeri, perdagangan internasional sangatlah rumit dan kompleks. Kerumitan tersebut
antara lain disebabkan karena adanya batas – batas politik dan kenegaraan yang
dapat menghambat perdagangan, misalnya dengan adanya bea, tarif, atau quota
barang impor. Selain itu, kesulitan lainnya timbul karena adanya perbedaan
budaya, bahasa, mata uang, taksiran dan timbangan, dan hukum
dalam perdagangan.
2. Model
Adam Smith
Model Adam Smith
ini memfokuskan pada keuntungan
mutlak yang menyatakan bahwa suatu negara akan memperoleh keuntungan
mutlak dikarenakan negara tersebut mampu memproduksi barang dengan biaya yang
lebih rendah dibandingkan negara lain. Menurut teori ini jika harga barang
dengan jenis sama tidak memiliki perbedaan di berbagai negara maka tidak ada
alasan untuk melakukan perdagangan internasional.
3. Model
Ricardian
Model Ricardian
memfokuskan pada kelebihan
komparatif dan mungkin merupakan konsep paling penting dalam teori
pedagangan internasional. Dalam Sebuah model Ricardian, negara mengkhususkan
dalam memproduksi apa yang mereka paling baik produksi. Tidak seperti model
lainnya, rangka kerja model ini memprediksi di mana negara – negara akan
menjadi spesialis secara penuh dibandingkan memproduksi bermacam barang
komoditas. Juga, model Ricardian tidak secara langsung memasukan faktor
pendukung, seperti jumlah relatif dari buruh dan modal dalam negara.
4. Model
Heckscher-Ohlin
Model
Heckscgher-Ohlin dibuat sebagai alternatif dari model Ricardian dan
dasar kelebihan komparatif. Mengesampingkan kompleksitasnya yang jauh lebih
rumit model ini tidak membuktikan prediksi yang lebih akurat. Bagaimanapun,
dari sebuah titik pandangan teoritis model tersebut tidak memberikan solusi
yang elegan dengan memakai mekanisme harga neoklasikal kedalam teori
perdagangan internasional.
Teori ini berpendapat bahwa pola dari
perdagangan internasional ditentukan oleh perbedaan dalam faktor pendukung. Model ini
memperkirakan kalau negara – negara akan mengekspor barang
yang membuat penggunaan intensif dari faktor pemenuh kebutuhan dan akan
mengimpor barang yang akan menggunakan faktor lokal yang langka secara
intensif. Masalah empiris dengan model H-O, dikenal sebagai Pradoks Leotief,
yang dibuka dalam uji empiris oleh Wassily Leontief yang menemukan bahwa Amerika Serikat lebih
cenderung untuk mengekspor barang padat karya dibanding barang padat modal dan
sebagainya.
B. PERKEMBANGAN EKSPOR INDONESIA
Sejak
tahun 1987 ekspor Indonesia mulai didominasi oleh komoditi non migas dimana
pada tahun – tahun sebelumnya masih didominasi oleh ekspor migas. Pergeseran
ini terjadi setelah pemerintah mengeluarkan serangkaian kebijakan dan
deregulasi di bidang ekspor, sehingga memungkinkan produsen untuk meningkatkan
ekspor non migas. Pada tahun 1998 nilai ekspor non migas telah mencapai 83,88%
dari total nilai ekspor Indonesia, sementara pada tahun 1999 peran nilai ekspor
non migas tersebut sedikit menurun, menjadi 79,88% atau nilainya 38.873,2 juta
US$ (turun 5,13%). Hal ini berkaitan erat dengan krisis moneter yang melanda
indonesia sejak pertengahan tahun 1997.
Tahun
2000 terjadi peningkatan ekspor yang pesat, baik untuk total maupun tanpa
migas, yaitu menjadi 62.124,0 juta US$ (27,66) untuk total ekspor dan 47.757,4
juta US$ (22,85%) untuk non migas. Namun peningkatan tersebut tidak berlanjut
ditahun berikutnya. Pada tahun 2001 total ekspor hanya sebesar 56.320,9 juta
US$ (menurun 9,34%), demikian juga untuk eskpor non migas yang menurun 8,53%.
Di tahun 2003 ekspor mengalami peningkatan menjadi 61.058,2 juta US$ atau naik
6,82% dibanding eskpor tahun 2002 yang sebesar 57.158,8 juta US$. Hal yang sama
terjadi pada ekspor non migas yang naik 5,24% menjadi 47.406,8 juta US$. Tahun
2004 ekspor kembali mengalami peningkatan menjadi 71.584,6 juta US$ (naik
17,24%) demikian juga ekspor non migas naik 18,0% menjadi 55.939,3 juta US$.
Pada tahun 2006 nilai ekspor menembus angka 100 juta US$ menjadi 100.798,6 juta
US$ atau naik 17,67%, begitu juga dengan ekspor non migas yang naik 19,81%
dibandingkan tahun 2005 menjadi 79.589,1 juta US$.
Selama
lima tahun terakhir, nilai impor Indonesia menunjukkan trend meningkat rata –
rata sebesar 45.826,1 juta US$ per tahun. Pada tahun 2006, total impor tercatat
sebesar 61.065,5 juta US$ atau meningkat sebesar 3.364,6 juta US$ (5,83%)
dibandingkan tahun 2005. Peningkatan ini disebabkan oleh meningkatnya impor
migas sebesar 1.505,2 juta US$ (8,62%) menjadi 18.962,9 juta US$ dan non migas
sebesar 1.859,4 juta US$ (4,62%) menjadi 42.102,6 juta US$. Pada periode yang
sama, peningkatan impor terbesar 54,15% dan non migas sebesar 39,51%.
Dilihat
dari kontribusinya, rata – rata peranan impor migas terhadap total impor selama
lima tahun terakhir mencapai 26,15% dan non migas sebesar 73.85% per tahun.
Dibandingkan tahun sebelumnya, peranan impor migas meningkat dari 30,26%
menjadi 31,05% di tahun 2006. Sedangkan peranan impor non migas menurun dari
69,74% menjadi 68,95%.
Pada
tahun 2012, ekspor migas Indonesia mencapai 36.977.261.378 US$, sedangkan
ekspor non migas sebanyak 153.043.004.652 US$. Di tahun setelahnya (2013)
ekspor migas di Indonesia mencapai 32.633.031.285 US$ dan ekspor non migas sebanyak
149.918.763.416 US$. Ditahun 2014 ekspor Indonesia pada migas adalah sebanyak
30.331.863.792 US$ dan ekspor non migas sebanyak 145.960.796.463 US$.
Ditahun
2015, ekspor migas sebanyak 24.253.173.022 US$ atau dalam presentase (15,05%)
sedangkan ekspor non migas adalah sebanyak 136.922.728.667 US$ (84.95%). Hal
tersebut menunjukkan bahwa ekspor non migas di Indonesia memang lebih
mendominasi dibanding ekspor migas.
C. TINGKAT DAYA SAING
Peringkat
daya saing yang semakin menurun mengindikasikan bahwa daya saing Indonesia di
perdagangan internasional semakin menurun. Kekayaaan alam yang melimpah
sepertinya kurang berperan dalam peningkatan daya saing Indonesia. Hal ini
mengindikasikan adanya hambatan yang menyebabkan daya saing Indonesia menurun.
Peran pemerintah dalam mengupayakan peningkatan daya saing seharusnya dapat
meningkatkan daya saing produk Indonesia di perdagangan internasional. Permasalahan
yang ada di Indonesia dalam kaitannya pada peningkatan daya saing Indonesia
adalah:
1. Bagaimana kekayaan alam Indonesia berperan dalam meningkatkan daya
saing? Mengapa Indonesia yang dikenal memiliki kekayaan alam yang berlimpah
akan tetapi daya saingnya rendah?
2. Hambatan apakah yang menyebabkan produk Indonesia kalah bersaing di
pasar internasional?
3. Bagaimana peran pemerintah dalam upaya meningkatkan daya saing
Indonesia?
1. Kekayaan alam tidak menjamin suatu negara memiliki keunggulan bersaing.
Keunggulan bersaing dapat dicapai bila negara dapat menciptakan strategi yang
tepat.
2. Masalah utama di Indonesia adalah tingginya pungli dan sulitnya
mendapatkan ijin untuk melakukan bisnis. High Cost Economy menghambat daya
saing produk Indonesia di perdagangan internasional.
3. Peran pemerintah sangat menentukan dalam keberhasilan peningkatan daya
saing produk Indonesia. Pemerintah harus mampu menciptakan iklim yang kondusif
bagi ekonomi Indonesia.
Selain
itu harus ada upaya yang lebih serius dalam peningkatan kualitas sumber daya
manusia untuk menciptakan keunggulan komparatif.
1. Diciptakan sektor agro industri untuk mengolah kekayaan alam yang ada,
sehingga Indonesia tidak hanya sebagai negara penghasil, akan tetapi Indonesia
juga dikenal sebagai negara pengolah sekaligus pemasar hasil sumber daya alam
di dunia.
2. Harus ada kemauan politik yang tinggi untuk menghapuskan pungli serta
peraturan daerah yang menghambat bisnis di Indonesia.
3. Pemerintah diharapkan mampu menciptakan iklim bisnis yang kondusif di
dalam negeri. Selain itu pemerintah diharapkan mampu menciptakan pendidikan
yang berkualitas dan lapangan kerja yang sesuai.
Peringkat
daya saing ekonomi Indonesia versi World Economic Forum (WEF) turun pada tahun
2015, dari urutan ke 34 pada tahun 2014 menjadi 37 dari 140 negara. Dalam
Global Competitiveness Report 2015 – 2016 yang dirilis WEF, daya saing
Indonesia kalah dari tiga negara tetangga, yakni Singapura yang berada di
peringkat 2, Malaysia di peringkat 18 dan Thailand di urutan 32. Di Asean,
Indonesia tercatat unggul dari Filipina (47), Vietnam (56), Laos (83), Kamboja
(90), dan Myanmar (131). Peringkat daya saing Indonesia juga terlihat lebih
baik dibandingkan banyak negara di luar Asia Tenggara, antara lain dari
Portugal (38), Italia (43), Rusia (45), Afrika Selatan (49), India (55), dan
Brazil (75).
Mengutip
catatan Kementerian Keuangan dalam situsnya, WEF pernah menempatkan daya saing
Indonesia di urutan ke 54 pada 2009, lalu merangkak naik menjadi ke 44 pada
2010, sebelum akhirnya turun kembali ke urutan 46 pada 2011 dan ke 50 pada
2012. Daya saing Indonesia kembali membaik pada 2013 menjadi urutan ke 38 dan
menjadi ke 34 pada tahun 2014.
WEF
menggabungkan data kuantitatif dan survei, dimana penilaian peringkat daya
saing global ini didasarkan pada 113 indikator yang dikelompokkan dalam 12
pilar daya saing. Kedua belas pilar tersebut yaitu institusi, infrastruktur,
kondisi dan situasi ekonomi makro, kesehatan dan pendidikan dasar, pendidikan
tingkat atas dan pelatihan, efisiensi pasar, efisiensi tenaga kerja,
pengembangan pasar finansial, kesiapan teknologi, ukuran pasar, lingkungan
bisnis, dan inovasi.
REFERENSI:
0 komentar:
Posting Komentar